• Home
  • Opini
  • Sosial
  • Islam
  • Minat
    • Teknologi
    • Artificial Intelligence
    • Internet
    • Food
    • Millennial
    • Seputar PNS
    • Lingkungan
    • Garis Hitam Project
  • Pendidikan
    • SD/MI
    • SMP/MTS
    • SMA/MA
    • Sarjana
    • Magister
  • Buku
  • Jual Foto
    • Portfolio Shutterstock
    • Tips Foto
  • More
    • About
    • LAYANAN/PRODUK KAMI
    • FAQ
    • Kontak
    • DISCLAIMER
    • KEBIJAKAN PRIVASI
    • KETENTUAN LAYANAN
    • Sitemap
    • PRIVACY POLICY
    • TERM OF SERVICE
Diberdayakan oleh Blogger.
Email bloglovin facebook instagram twitter whatsapp pinterest

Hei Sobat !

Prolog

Di tengah derasnya arus transformasi digital, sektor publik dihadapkan pada tantangan besar untuk terus meningkatkan kinerjanya. Namun, sekadar membeli teknologi canggih ternyata tidak cukup. Kunci utamanya justru terletak pada faktor manusia: kepemimpinan yang visioner dan kompetensi digital para pegawainya.

Sebuah riset terbaru yang kami lakukan di lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Barat menunjukkan adanya penurunan kinerja pegawai yang cukup drastis, dari 86,34% pada tahun 2021 menjadi hanya 45,04% di awal tahun 2024. Fenomena ini memicu pertanyaan mendasar: Mengapa digitalisasi yang digadang-gadang sebagai solusi justru belum menunjukkan hasil optimal?

Penelitian kami mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menganalisis tiga faktor krusial: kepemimpinan digital, kompetensi digital pegawai, dan transformasi digital organisasi secara keseluruhan.

Tiga Pilar Penentu Kinerja di Era Digital

Untuk memahami akar permasalahan, kami melihat tiga elemen yang saling terkait sebagai fondasi kinerja di lingkungan kerja modern.

  1. Kepemimpinan Digital: Ini bukan sekadar tentang manajemen biasa. Kepemimpinan digital adalah kemampuan seorang pemimpin untuk merumuskan visi strategis di tengah perubahan teknologi, menginspirasi tim, dan memandu organisasi melewati ekosistem digital yang kompleks. Pemimpin digital tidak hanya fokus pada adopsi teknologi, tetapi juga pada bagaimana teknologi dapat mengubah budaya kerja menjadi lebih lincah dan berorientasi pada data.
  2. Kompetensi Digital Pegawai: Di era sekarang, keahlian digital adalah sebuah keharusan. Kompetensi ini mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk menggunakan perangkat digital secara percaya diri dan efisien. Lebih dari sekadar bisa mengoperasikan aplikasi, kompetensi ini meliputi literasi data, kemampuan komunikasi di platform digital, pembuatan konten, hingga pemecahan masalah berbasis teknologi.
  3. Transformasi Digital Organisasi: Ini adalah perubahan fundamental tentang bagaimana sebuah organisasi beroperasi dan memberikan nilai. Proses ini bukan hanya tentang digitalisasi dokumen, melainkan integrasi teknologi secara menyeluruh untuk menciptakan model layanan baru, meningkatkan pengalaman pengguna, dan mengoptimalkan efisiensi.

Temuan Utama: Manusia Lebih Unggul dari Teknologi

Setelah melakukan survei terhadap 673 aparatur sipil negara (ASN) dan menganalisis data menggunakan metode Structural Equation Modeling-Partial Least Square (SEM-PLS), kami menemukan hasil yang sangat menarik.

Ketiga faktor yang kami teliti—kepemimpinan, kompetensi, dan transformasi digital—terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Namun, urutan pengaruhnya memberikan sebuah pelajaran penting.

  • Peringkat #1: Kompetensi Digital Pegawai (Pengaruh 36,4%). Faktor inilah yang menjadi penentu paling dominan. Secanggih apa pun sistem yang tersedia, efektivitasnya bergantung pada kemampuan pengguna untuk memanfaatkannya secara optimal.
  • Peringkat #2: Kepemimpinan Digital (Pengaruh 28,1%). Pemimpin yang memiliki visi digital yang jelas mampu menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi. Arahannya memotivasi pegawai dan memastikan investasi teknologi memberikan dampak nyata pada produktivitas.
  • Peringkat #3: Transformasi Digital (Pengaruh 18,0%). Meskipun penting, penyediaan infrastruktur dan sistem digital (transformasi) memiliki dampak paling rendah dibandingkan dua faktor manusia lainnya. Ini menegaskan bahwa teknologi hanyalah alat—bukan penentu tunggal.

Secara kolektif, ketiga variabel ini mampu menjelaskan 57,3% variasi dalam kinerja pegawai, yang menunjukkan bahwa model penelitian kami memiliki relevansi prediktif yang kuat.

Implikasi Praktis untuk Instansi Pemerintah

Dari temuan ini, ada beberapa rekomendasi strategis yang bisa diambil oleh instansi pemerintah dan organisasi sektor publik lainnya:

  1. Prioritaskan Investasi pada Sumber Daya Manusia: Daripada hanya berfokus pada pengadaan teknologi, alokasikan anggaran yang lebih besar untuk program pelatihan kompetensi digital yang komprehensif dan berkelanjutan bagi seluruh pegawai.
  2. Kembangkan Kader Pemimpin Digital: Ciptakan program pengembangan kepemimpinan yang berfokus pada visi strategis, manajemen perubahan di era digital, dan kemampuan memupuk inovasi.
  3. Integrasikan Strategi Teknologi dan SDM: Pastikan setiap inisiatif transformasi digital diimbangi dengan strategi pengembangan sumber daya manusia. Teknologi baru harus didukung oleh tenaga kerja yang terampil dan dipimpin oleh pemimpin yang kompeten.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan sebuah kesimpulan penting: untuk mencapai kinerja unggul di era digital, organisasi sektor publik harus menggeser fokusnya. Bukan lagi tentang "teknologi apa yang kita beli," melainkan tentang "bagaimana kita mempersiapkan orang-orang kita."

Kompetensi digital pegawai dan kepemimpinan digital adalah dua pilar utama yang harus dibangun terlebih dahulu. Ketika manusia sebagai motor penggerak telah siap, barulah transformasi digital dapat berjalan efektif dan memberikan hasil yang diharapkan. Pada akhirnya, keberhasilan digitalisasi tidak diukur dari kecanggihan teknologi, melainkan dari peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat.

Artikel ini diadaptasi dari penelitian berjudul "Digital Leadership, Competence, and Transformation: Driving Public Sector Performance in the Digital Era" oleh Achmad Nur dan Fetty Poerwita Sary dari Telkom University.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 


Di era digital ini, kejahatan tidak lagi hanya terjadi di dunia fisik. Ruang siber (cyberspace) telah menjadi arena baru bagi para pelaku kriminal untuk melancarkan aksinya, mulai dari penipuan online, pencurian data, hingga penyebaran konten ilegal. Fenomena yang dikenal sebagai cyber crime ini terus meningkat setiap tahunnya. Namun, ketika kita menjadi korban, pertanyaan besarnya adalah: seberapa siapkah aparat penegak hukum kita dalam memberikan pelayanan administrasi untuk kasus-kasus ini?

Sebuah Tesis "Pelayanan Administrasi Kasus Cyber Crime pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Riau" oleh Raja Rima Afriyenti, Universitas Islam Riau (2022) mencoba mengupas tuntas realitas pelayanan administrasi untuk kasus cyber crime di tingkat daerah, dengan mengambil studi kasus di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau. Hasilnya memberikan gambaran yang jujur tentang tantangan yang dihadapi baik oleh masyarakat pelapor maupun pihak kepolisian sendiri.

Dunia Maya, Kejahatan Nyata

Cyber crime adalah tindak kriminal yang menggunakan teknologi komputer dan internet sebagai alat kejahatan utama. Berbeda dengan kejahatan konvensional, pelaku kejahatan siber bisa berada di mana saja, melintasi batas negara, dan seringkali anonim. Hal ini membuat deteksi dan penegakan hukum menjadi jauh lebih kompleks.

Data dari Ditreskrimsus Polda Riau menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Jumlah laporan kasus cyber crime terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2019, ada 28 kasus dilaporkan, meningkat menjadi 34 kasus pada 2020, dan 32 kasus pada 2021. Meskipun tingkat penyelesaian kasus juga menunjukkan peningkatan, dari 32% pada 2019 menjadi 78% pada 2021, tantangan di level pelayanan paling depan—saat masyarakat pertama kali melapor—masih menjadi sorotan.

Enam Dimensi Pelayanan: Apa Kata Masyarakat?

Penelitian ini mengukur kualitas pelayanan administrasi berdasarkan enam indikator standar pelayanan publik. Mari kita lihat bagaimana potretnya di lapangan.

  1. Prosedur Pelayanan: Secara umum, prosedur yang ada sudah mengikuti standar. Namun, banyak pelapor merasa alurnya sedikit "berbelit-belit". Salah satu kendala utamanya adalah keharusan membawa bukti yang lengkap, yang seringkali sulit dipenuhi oleh korban penipuan online yang panik dan tidak tahu cara mengumpulkan bukti digital.

  2. Waktu Penyelesaian: Waktu pelayanan di kantor polisi sudah sesuai dengan jam kerja yang ditetapkan. Namun, yang menjadi catatan adalah waktu penyelesaian kasus, yang tidak bisa dipastikan karena kompleksitas penyelidikan cyber crime.

  3. Biaya Pelayanan: Ini adalah kabar baik. Penelitian ini menegaskan bahwa tidak ada biaya sama sekali yang dipungut dalam proses pelaporan kasus cyber crime, dan tidak ditemukan adanya pungutan liar.

  4. Produk Layanan: Hasil akhir dari pelayanan adalah laporan polisi dan penanganan kasus. Di sini, ditemukan bahwa masih banyak masyarakat yang belum tahu tentang adanya layanan konsultasi sebelum membuat laporan resmi, yang sebenarnya bisa sangat membantu.

  5. Sarana dan Prasarana: Fasilitas fisik seperti ruang tunggu, ruang pelaporan, hingga tempat parkir di Ditreskrimsus Polda Riau dinilai sudah cukup baik, nyaman, dan memadai.

  6. Kompetensi Petugas: Petugas di garda depan dinilai sudah bersikap ramah dan profesional. Namun, tantangan terbesarnya adalah kompetensi teknis di bidang cyber crime. Kurangnya penyidik yang memiliki keahlian khusus di bidang informasi dan transaksi elektronik (ITE) menjadi salah satu kendala utama.

Kendala Utama di Lapangan

Dari analisis mendalam, tesis ini mengidentifikasi beberapa kendala krusial yang menghambat optimalnya pelayanan:

  • Minimnya Bukti dari Pelapor: Korban seringkali datang tanpa bukti yang cukup, seperti screenshot percakapan atau bukti transfer yang valid, yang mempersulit proses awal.

  • Kurangnya Pemahaman Prosedur: Masyarakat awam masih banyak yang bingung tentang alur dan syarat pelaporan cyber crime.

  • Kompetensi Teknis: Keterbatasan jumlah personel dengan keahlian siber membuat penanganan kasus membutuhkan waktu lebih lama dan seringkali bergantung pada saksi ahli eksternal.

  • Sifat Kejahatan yang Universal: Pelaku yang berada di luar negeri atau menggunakan data anonim menjadi tantangan terbesar dalam penyelidikan.

Menuju Pelayanan yang Lebih Baik

Berdasarkan temuan tersebut, ada beberapa langkah strategis yang perlu didorong. Pihak kepolisian perlu lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai prosedur pelaporan dan cara mengamankan bukti digital. Di sisi lain, peningkatan kapasitas dan pelatihan bagi para penyidik di bidang digital forensics dan hukum ITE menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.

Melaporkan cyber crime memang tidak sesederhana melaporkan kejahatan konvensional. Namun, dengan pembenahan di sisi pelayanan dan peningkatan literasi digital di masyarakat, kita bisa berharap proses penegakan hukum di dunia maya menjadi lebih efektif dan terpercaya.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 


Pendidikan tinggi sering dianggap sebagai kunci untuk membuka masa depan yang lebih cerah. Namun, mahalnya biaya seringkali menjadi tembok penghalang yang sulit ditembus, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Untuk meruntuhkan tembok tersebut, pemerintah Indonesia meluncurkan program beasiswa Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K).

Pertanyaan besarnya adalah: apakah beasiswa ini benar-benar menjadi pendorong motivasi belajar, atau hanya sekadar bantuan finansial? Sebuah penelitian menarik yang diterbitkan dalam Journal of Creative Student Research (JCSR) Vol.1, No.2, "Beasiswa KIP-K: Apakah Beasiswa Dapat Menjadi Motivasi Belajar Mahasiswa?" oleh Erlin Nisa Alviyah dkk. (2023) mencoba menjawab pertanyaan ini dengan mengkaji motivasi belajar mahasiswa penerima KIP-K di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Dilema Biaya dan Lahirnya Harapan Bernama KIP-K

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 menunjukkan ironi: hanya sekitar 25,99% masyarakat Indonesia di rentang usia 19-24 tahun yang mengenyam pendidikan tinggi. Salah satu biang keladinya adalah biaya yang tinggi. Di sinilah program KIP-K (sebelumnya dikenal sebagai Bidikmisi) hadir sebagai jembatan asa, memberikan kesempatan bagi siswa berprestasi dari keluarga kurang mampu untuk melanjutkan studi.

Beasiswa ini tidak hanya menanggung biaya kuliah, tetapi juga memberikan bantuan biaya hidup bulanan. Secara teori, dengan terpenuhinya kebutuhan dasar finansial, mahasiswa seharusnya bisa lebih fokus dan termotivasi dalam belajar. Namun, apakah realitas di lapangan seindah teori?

Motivasi di Balik Angka: Apa Kata Mahasiswa?

Penelitian yang dilakukan melalui kuesioner terbuka kepada 100 mahasiswa penerima KIP-K di UPI ini mengungkap beberapa temuan menarik.

1. Standar IPK sebagai "Cambuk" Positif

Salah satu syarat utama beasiswa KIP-K adalah kewajiban untuk mempertahankan Indeks Prestasi (IP) minimal 2.75 setiap semesternya. Ternyata, aturan ini menjadi motivator yang sangat kuat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perolehan IP mahasiswa penerima beasiswa cenderung stabil, bahkan meningkat dari semester ke semester.

Sebanyak 86% responden memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di atas 3.51. Ini membuktikan bahwa adanya "ancaman" pencabutan beasiswa jika IPK di bawah standar efektif mendorong mahasiswa untuk belajar lebih giat. Mereka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang telah didapat.

2. Tanggung Jawab Moral dan Finansial

Lebih dari sekadar mengejar angka, para mahasiswa menunjukkan rasa tanggung jawab yang tinggi. Ketika ditanya mengenai bentuk tanggung jawab mereka, mayoritas (69%) menjawab dengan "belajar sungguh-sungguh". Selain itu, mereka juga merasa bertanggung jawab untuk mengelola dana bantuan hidup dengan bijak. Dana tersebut tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga dialokasikan untuk membeli buku, laptop, dan perlengkapan lain yang menunjang perkuliahan. Ini menunjukkan adanya kesadaran bahwa beasiswa adalah amanah yang harus digunakan sebaik-baiknya.

3. Bukan Jalan yang Selalu Mulus

Meskipun memberikan banyak manfaat, perjalanan sebagai penerima beasiswa tidak selalu mulus. Penelitian ini juga mengungkap beberapa hambatan yang dihadapi:

  • Keterlambatan Pencairan Dana: Ini menjadi masalah klasik yang seringkali menyulitkan mahasiswa untuk membayar UKT tepat waktu atau memenuhi biaya hidup di awal semester.

  • Diskriminasi Sosial: Sayangnya, masih ada stigma atau perlakuan kurang menyenangkan dari teman sebaya yang merasa mahasiswa KIP-K "tidak pantas" menerima bantuan.

  • Tantangan Akademik: Beberapa mahasiswa merasa kesulitan beradaptasi dengan materi perkuliahan yang lebih kompleks, yang terkadang menimbulkan rasa minder.

Namun, menariknya, separuh dari responden merasa tidak memiliki hambatan signifikan yang dapat memengaruhi semangat belajar mereka.

Kesimpulan: Beasiswa Sebagai Katalisator Prestasi

Berdasarkan temuan tersebut, Journal of Creative Student Research menyimpulkan bahwa beasiswa KIP-K secara signifikan berperan positif dalam meningkatkan motivasi belajar mahasiswa. Bantuan ini lebih dari sekadar transfer uang; ia adalah sebuah kontrak sosial yang menuntut tanggung jawab dan memacu prestasi.

Aturan IPK minimum, rasa amanah, dan kesadaran akan kesempatan yang langka menjadi kombinasi pendorong yang kuat. Meskipun masih ada kendala teknis seperti keterlambatan pencairan, dampak positif beasiswa ini terhadap motivasi dan prestasi akademik tidak dapat dipungkiri. Program ini membuktikan bahwa ketika hambatan finansial dihilangkan, potensi anak bangsa yang berprestasi dapat bersinar lebih terang.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 


Bagi orang dewasa, melihat anak-anak bermain mungkin tampak seperti kegiatan sepele yang membuang-buang waktu. Namun, di balik tawa dan keriangan itu, tersimpan sebuah proses fundamental yang sangat krusial bagi tumbuh kembang mereka. Bermain bukan sekadar hiburan; ia adalah hak dasar dan cara anak belajar tentang dunia.

Sebuah artikel dalam Jurnal Tarbawi Vol. 13, No. 2, "Bermain dan Pemanfaatannya dalam Perkembangan Anak Usia Dini" oleh Naili Rohmah (2016) mengupas tuntas bagaimana kegiatan yang tampak sederhana ini sebenarnya adalah "pekerjaan" utama seorang anak. Melalui bermain, anak mengekspresikan diri, membangun kreativitas, hingga mengasah berbagai aspek kecerdasan. Mari kita bedah lebih dalam mengapa kita tidak boleh meremehkan kekuatan dari "main-main".

Hakikat Bermain: Lebih dari Sekadar Senang-senang

Menurut penelitian yang diulas dalam jurnal tersebut, bermain adalah aktivitas mendasar yang dilakukan atas kemauan sendiri, tanpa paksaan, dan penuh kegembiraan. Ini adalah laboratorium pertama bagi anak untuk mempelajari banyak hal: mulai dari mengenal aturan, bersosialisasi, menata emosi, hingga menjunjung tinggi sportivitas.

Ada beberapa esensi penting dari bermain:

  1. Motivasi Internal: Anak bermain karena keinginan dari dalam diri, bukan karena disuruh.

  2. Aktif: Bermain melibatkan fungsi fisik dan mental secara bersamaan.

  3. Nonliteral: Anak mampu menciptakan dunianya sendiri, terlepas dari realitas. Mereka bisa berpura-pura menjadi apa saja, dari dokter hingga astronot.

  4. Tanpa Tujuan Eksternal: Tujuan utama bermain adalah proses bermain itu sendiri, bukan untuk mencapai hasil akhir tertentu.

Tahapan Bermain: Dari Soliter hingga Kooperatif

Perkembangan sosial anak tercermin dari cara mereka bermain. Peneliti Mildred Parten mengidentifikasi enam tahapan bermain yang menarik untuk diamati:

  • Unoccupied Play (Tidak Terlibat): Anak hanya mengamati sekelilingnya tanpa benar-benar bermain.

  • Solitary Play (Bermain Sendiri): Anak asyik dengan permainannya sendiri dan tidak peduli dengan anak lain di sekitarnya.

  • Onlooker Play (Mengamati): Anak memperhatikan anak lain bermain, bahkan mungkin berkomentar, tetapi tidak ikut bergabung.

  • Parallel Play (Bermain Berdampingan): Anak-anak bermain dengan mainan yang sama di tempat yang sama, tetapi tidak ada interaksi di antara mereka.

  • Associative Play (Bermain Bersama): Anak-anak mulai berinteraksi, saling pinjam mainan, tetapi belum ada tujuan atau aturan bersama.

  • Cooperative Play (Bermain Kooperatif): Ini adalah puncak dari bermain sosial. Anak-anak bermain dalam kelompok yang terorganisir, memiliki tujuan bersama, dan ada pembagian peran.

Lima Manfaat Emas dari Bermain

Jadi, apa saja yang sebenarnya dipelajari anak saat mereka "hanya" bermain? Jawabannya: hampir segalanya.

  1. Perkembangan Moral dan Agama: Saat bermain rumah-rumahan, anak belajar mengucapkan salam saat masuk rumah atau berdoa sebelum makan. Saat bermain dengan teman, mereka belajar tentang aturan, kejujuran, dan sportivitas. Ini adalah fondasi moral yang abstrak namun dipelajari secara konkret.

  2. Perkembangan Motorik (Kasar dan Halus): Bermain petak umpet melatih anak untuk berlari, melompat, dan membungkuk (motorik kasar). Sementara itu, permainan seperti congklak atau menyusun balok mengasah koordinasi mata dan tangan serta kekuatan jari-jemari (motorik halus).

  3. Perkembangan Kognitif: "Ini bola, warnanya merah, bentuknya bulat." Konsep ini jauh lebih mudah dipahami anak ketika ia memegang dan memainkan bola tersebut, daripada sekadar diberitahu di dalam kelas. Bermain adalah cara otak anak mencerap informasi, berpikir kreatif, dan bernalar.

  4. Perkembangan Bahasa: Bermain adalah panggung utama bagi anak untuk berlatih komunikasi. Mereka belajar mengutarakan keinginan, memberi komentar, bernegosiasi, dan memahami bahasa tubuh. Lingkungan bermain yang kaya akan interaksi dapat secara signifikan meningkatkan perbendaharaan kata anak.

  5. Perkembangan Sosial: Dari anak yang awalnya egosentris (semua berpusat pada dirinya), bermain bersama teman mengajarkan mereka untuk berbagi, bekerja sama dalam tim, berempati, dan memahami sudut pandang orang lain.

Peran Kita: Mengamati, Bukan Menginterupsi

Sebagai orang tua atau pendidik, peran kita bukanlah mengarahkan atau menginterupsi permainan anak, melainkan memfasilitasi dan mengamatinya. Saat anak asyik bermain, kita bisa mendapatkan "laporan" tumbuh kembangnya secara langsung.

Apakah ia sudah bisa membedakan warna saat bermain bola? Apakah ia mau berbagi mainan dengan temannya? Apakah ia sudah bisa melempar dan menangkap bola? Semua ini adalah data berharga. Dengan menyisipkan unsur edukasi secara halus ke dalam permainan, kita membantu anak belajar dengan cara yang paling alami dan menyenangkan.

Pada akhirnya, bermain adalah investasi terbaik untuk masa depan anak. Jadi, biarkan mereka bermain.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

 


Di dunia akademik, ada adagium terkenal: "publish or perish"—publikasikan karyamu atau kau akan tersingkir. Tekanan ini sangat nyata dirasakan oleh para akademisi di Indonesia, terutama dengan adanya kewajiban mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan jabatan fungsional. Tuntutan untuk mempublikasikan karya ilmiah di jurnal internasional pun semakin tinggi.

Namun, di tengah tekanan tersebut, muncul sebuah "jalan pintas" yang berbahaya: jurnal predator. Fenomena ini bukanlah sekadar masalah kualitas, melainkan sebuah model bisnis penipuan berkedok publikasi ilmiah yang mengancam integritas dunia riset. Sebuah  Skripsi "Analisis Pola Social Engineering Pada Media Website Jurnal Predator Internasional Bidang Ekonomi" oleh Arba Maulina Rasyida, Universitas Islam Indonesia (2018) menganalisis secara mendalam bagaimana para penerbit predator ini menggunakan taktik manipulasi psikologis, atau yang dikenal sebagai social engineering, untuk menjerat para peneliti.

Apa Sebenarnya Jurnal Predator Itu?

Jurnal predator adalah publikasi yang mengklaim sebagai jurnal ilmiah yang sah, namun memprioritaskan keuntungan finansial di atas kualitas dan kaidah ilmiah. Mereka mengeksploitasi model publikasi open access—di mana penulis membayar biaya agar artikelnya dapat diakses secara gratis oleh publik—tanpa memberikan layanan editorial dan proses peer-review (penelaahan sejawat) yang semestinya.

Hasilnya? Artikel-artikel diterbitkan dengan sedikit atau tanpa proses peninjauan, penuh dengan kesalahan, bahkan plagiarisme. Reputasi penulis tercoreng, dan yang lebih parah, "sampah ilmiah" ini mencemari ekosistem pengetahuan global.

Senjata Utama: Manipulasi Psikologis Bernama Social Engineering

Jurnal predator tidak meretas komputer, mereka "meretas" psikologi manusia. Istilah social engineering merujuk pada serangkaian teknik manipulasi yang dirancang untuk memengaruhi, membujuk, dan menipu target agar melakukan tindakan tertentu atau membocorkan informasi. Dalam konteks ini, targetnya adalah para akademisi yang sedang putus asa mencari tempat publikasi.

Penelitian tersebut mengidentifikasi beberapa pola komunikasi yang secara konsisten digunakan oleh website jurnal predator. Pola-pola inilah yang menjadi tanda bahaya utama.

Pola-Pola Jebakan: Kenali Tanda Bahayanya

Melalui analisis konten terhadap puluhan website jurnal, terungkap beberapa taktik social engineering yang menjadi andalan para penerbit predator:

  1. Bahasa Persuasif dan Janji Selangit Jurnal predator sering menggunakan kalimat-kalimat bombastis seperti "penerbit terkemuka", "jurnal terbaik di dunia", atau menjanjikan "proses peer-review yang ketat". Ironisnya, janji ini seringkali dibarengi dengan iming-iming publikasi super cepat (misalnya, dalam 5-7 hari), yang secara logis bertentangan dengan proses peer-review yang ketat dan butuh waktu. Ini adalah teknik persuasi untuk memancing peneliti yang berada di bawah tekanan tenggat waktu.

  2. Biaya Publikasi (Article Processing Charge - APC) yang Janggal Meskipun jurnal open access yang sah juga mengenakan APC, jurnal predator seringkali memasang tarif tinggi tanpa memberikan layanan yang sepadan. Mereka merinci biaya seolah-olah untuk "biaya indexing", "biaya editorial", dan lain-lain, padahal semua itu fiktif. Sebaliknya, jurnal bereputasi seringkali tidak mengenakan biaya publikasi sama sekali (kecuali jika penulis memilih opsi open access), karena model bisnis mereka berbasis langganan.

  3. Cakupan Ilmu "Gado-Gado" Salah satu ciri paling mencolok adalah cakupan disiplin ilmu yang terlalu luas. Sebuah jurnal predator bisa mengklaim menerima artikel dari bidang ekonomi, kedokteran, teknik, hingga ilmu sosial dalam satu payung. Tujuannya jelas: menjaring "mangsa" sebanyak mungkin tanpa memedulikan fokus keilmuan. Jurnal yang kredibel selalu memiliki cakupan topik yang spesifik dan dikelola oleh para ahli di bidang tersebut.

  4. Sistem Penyerahan Naskah yang Tidak Profesional Jika sebuah jurnal internasional hanya menyediakan alamat email gratis (seperti @gmail atau @yahoo) sebagai sarana pengiriman naskah, ini adalah bendera merah raksasa. Jurnal bereputasi hampir selalu menggunakan sistem manajemen naskah online yang profesional (seperti ScholarOne atau Editorial Manager) dan memiliki alamat email dengan domain resmi mereka.

  5. Dewan Redaksi (Editorial Board) Palsu Untuk terlihat meyakinkan, jurnal predator seringkali mencatut nama-nama akademisi ternama sebagai dewan redaksi tanpa izin. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menciptakan profil peneliti fiktif.

Mengapa Akademisi Terjebak?

Selain karena taktik manipulasi yang canggih, ada dua alasan utama mengapa peneliti, terutama di negara berkembang, bisa jatuh ke dalam perangkap ini:

  • Tekanan Institusi: Tuntutan untuk publikasi cepat demi kenaikan pangkat membuat beberapa akademisi mengambil jalan pintas.

  • Kurangnya Pengalaman: Peneliti muda atau mahasiswa pascasarjana seringkali belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk membedakan jurnal yang kredibel dan yang predator.

Lindungi Diri dan Integritas Riset Anda

Fenomena jurnal predator adalah ancaman nyata. Pemerintah melalui Kemenristekdikti dan berbagai universitas telah berupaya meminimalisir masalah ini dengan merilis daftar hitam (blacklist) dan mengadakan sosialisasi. Namun, pertahanan terbaik ada pada diri peneliti itu sendiri.

Sebelum mengirimkan naskah berharga Anda, selalu lakukan uji tuntas: periksa reputasi jurnal, cek daftar jurnal yang diakui Dikti atau indeks internasional seperti Scopus, dan jangan mudah tergiur dengan email yang menjanjikan publikasi kilat. Ingat, dalam dunia akademik, kualitas selalu mengalahkan kuantitas.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Postingan Baru
Postingan Lama

Toko e-Book Terbaik

toko-buku "Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas." Mohammad Hatta

Translate Website

Tentang

Read before you think
-Frand Lebowitz

Kolom Iklan

Iklan/Penawaran Jaringan

Popular Posts

  • Website freelance yang pernah saya coba
    Tentu banyak yang mengiginkan pemasukan tambahan, khususnya Mahasiswa yang biasanya memiliki semangat ditambah tekat yang kuat untuk mempe...
  • Hoax dan Bahayanya Menurut Islam
     Oleh : DR Abdul Azhim Al Badawi Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar desas-desus yang tidak jelas asal-usulnya. Kadang ...
  • Eksistensi Money Oriented
    Saat tulisan ini dibuat jumlah utang luar negeri Indonesia sebesar 5.200 triliun lebih dan menurut data.worldbank.org jumlah populasi I...
  • Profil SMK Negeri 1 Rangas Mamuju
    Gambaran Umum Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Rangas Mamuju yang berdiri pada 29 Januari 1998, dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebuda...
  • Relawan Whatsapp dan Hoax
    Whatsapp menjadi salah satu media sosial dengan pengguna terbanyak akhir-akhir ini, itu dibuktikan dengan jumlah pengguna yang mengunduh ...
  • Cara Mengolah Coklat Menjadi Minuman Sehat untuk Anak
      Setiap orang tua khususnya ibu pasti akan berusaha untuk memberikan asupan makanan dan minuman yang terbaik dan sehat untuk anak-anak...
  • Hukum Shalat Sunnah Qobliyah Shubuh setelah shalat wajib
    Sebagai muslim tentu telah mengetahui bagaimana keutamaan shalat sunnah qobliyah Shubuh atau shalat sunnah Fajar . Dalam shahih Muslim ter...
  • gerakan evolusi
    Hingga 2019 ini ilmu pengetahuan telah meningkat pesat salah satunya dibuktikan dengan penggunaan alat 3D printing untuk membuat rum...
  • Tafsir Ayat-Ayat Ahkam - Syaikh Ahmad Muhammad Al-Hushari
    Syaikh Ahmad Muhammad Al-Hushari adalah penulis buku setebal 460 halaman ini. Belau dilahirkan di Gaza tepatnya Desa Syibran Namlah, pada ...
  • Minimnya Budaya Antri
    Menunggu di sebuah antrian memang membutuhkan kesabaran yang ekstra tapi dengan menunggu semua akan merasa adil karena sudah sesuai haknya...

Artikel Menarik

Berdasarkan Topik

  • Millennial (46)
  • AI (11)
  • Lingkungan (7)
  • PNS (7)
  • Internet (6)
  • Foto (2)
  • Garis Hitam Project (2)

Jaringan

Garis Hitam Project

Resensi Institute
Multi Tekno Mamuju

Formulir Kontak (inbox)

Nama

Email *

Pesan *

Laporkan Penyalahgunaan

Created : ThemeXpose | Modified : Achmad Nur |@2018