Jebakan 'Jurnal Predator': Membedah Taktik Social Engineering di Dunia Akademik
Di dunia akademik, ada adagium terkenal: "publish or perish"—publikasikan karyamu atau kau akan tersingkir. Tekanan ini sangat nyata dirasakan oleh para akademisi di Indonesia, terutama dengan adanya kewajiban mengumpulkan angka kredit untuk kenaikan jabatan fungsional. Tuntutan untuk mempublikasikan karya ilmiah di jurnal internasional pun semakin tinggi.
Namun, di tengah tekanan tersebut, muncul sebuah "jalan pintas" yang berbahaya: jurnal predator. Fenomena ini bukanlah sekadar masalah kualitas, melainkan sebuah model bisnis penipuan berkedok publikasi ilmiah yang mengancam integritas dunia riset. Sebuah Skripsi "Analisis Pola Social Engineering Pada Media Website Jurnal Predator Internasional Bidang Ekonomi" oleh Arba Maulina Rasyida, Universitas Islam Indonesia (2018) menganalisis secara mendalam bagaimana para penerbit predator ini menggunakan taktik manipulasi psikologis, atau yang dikenal sebagai social engineering, untuk menjerat para peneliti.
Apa Sebenarnya Jurnal Predator Itu?
Jurnal predator adalah publikasi yang mengklaim sebagai jurnal ilmiah yang sah, namun memprioritaskan keuntungan finansial di atas kualitas dan kaidah ilmiah. Mereka mengeksploitasi model publikasi open access—di mana penulis membayar biaya agar artikelnya dapat diakses secara gratis oleh publik—tanpa memberikan layanan editorial dan proses peer-review (penelaahan sejawat) yang semestinya.
Hasilnya? Artikel-artikel diterbitkan dengan sedikit atau tanpa proses peninjauan, penuh dengan kesalahan, bahkan plagiarisme. Reputasi penulis tercoreng, dan yang lebih parah, "sampah ilmiah" ini mencemari ekosistem pengetahuan global.
Senjata Utama: Manipulasi Psikologis Bernama Social Engineering
Jurnal predator tidak meretas komputer, mereka "meretas" psikologi manusia. Istilah social engineering merujuk pada serangkaian teknik manipulasi yang dirancang untuk memengaruhi, membujuk, dan menipu target agar melakukan tindakan tertentu atau membocorkan informasi. Dalam konteks ini, targetnya adalah para akademisi yang sedang putus asa mencari tempat publikasi.
Penelitian tersebut mengidentifikasi beberapa pola komunikasi yang secara konsisten digunakan oleh website jurnal predator. Pola-pola inilah yang menjadi tanda bahaya utama.
Pola-Pola Jebakan: Kenali Tanda Bahayanya
Melalui analisis konten terhadap puluhan website jurnal, terungkap beberapa taktik social engineering yang menjadi andalan para penerbit predator:
Bahasa Persuasif dan Janji Selangit Jurnal predator sering menggunakan kalimat-kalimat bombastis seperti "penerbit terkemuka", "jurnal terbaik di dunia", atau menjanjikan "proses peer-review yang ketat". Ironisnya, janji ini seringkali dibarengi dengan iming-iming publikasi super cepat (misalnya, dalam 5-7 hari), yang secara logis bertentangan dengan proses peer-review yang ketat dan butuh waktu. Ini adalah teknik persuasi untuk memancing peneliti yang berada di bawah tekanan tenggat waktu.
Biaya Publikasi (Article Processing Charge - APC) yang Janggal Meskipun jurnal open access yang sah juga mengenakan APC, jurnal predator seringkali memasang tarif tinggi tanpa memberikan layanan yang sepadan. Mereka merinci biaya seolah-olah untuk "biaya indexing", "biaya editorial", dan lain-lain, padahal semua itu fiktif. Sebaliknya, jurnal bereputasi seringkali tidak mengenakan biaya publikasi sama sekali (kecuali jika penulis memilih opsi open access), karena model bisnis mereka berbasis langganan.
Cakupan Ilmu "Gado-Gado" Salah satu ciri paling mencolok adalah cakupan disiplin ilmu yang terlalu luas. Sebuah jurnal predator bisa mengklaim menerima artikel dari bidang ekonomi, kedokteran, teknik, hingga ilmu sosial dalam satu payung. Tujuannya jelas: menjaring "mangsa" sebanyak mungkin tanpa memedulikan fokus keilmuan. Jurnal yang kredibel selalu memiliki cakupan topik yang spesifik dan dikelola oleh para ahli di bidang tersebut.
Sistem Penyerahan Naskah yang Tidak Profesional Jika sebuah jurnal internasional hanya menyediakan alamat email gratis (seperti @gmail atau @yahoo) sebagai sarana pengiriman naskah, ini adalah bendera merah raksasa. Jurnal bereputasi hampir selalu menggunakan sistem manajemen naskah online yang profesional (seperti ScholarOne atau Editorial Manager) dan memiliki alamat email dengan domain resmi mereka.
Dewan Redaksi (Editorial Board) Palsu Untuk terlihat meyakinkan, jurnal predator seringkali mencatut nama-nama akademisi ternama sebagai dewan redaksi tanpa izin. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan menciptakan profil peneliti fiktif.
Mengapa Akademisi Terjebak?
Selain karena taktik manipulasi yang canggih, ada dua alasan utama mengapa peneliti, terutama di negara berkembang, bisa jatuh ke dalam perangkap ini:
Tekanan Institusi: Tuntutan untuk publikasi cepat demi kenaikan pangkat membuat beberapa akademisi mengambil jalan pintas.
Kurangnya Pengalaman: Peneliti muda atau mahasiswa pascasarjana seringkali belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk membedakan jurnal yang kredibel dan yang predator.
Lindungi Diri dan Integritas Riset Anda
Fenomena jurnal predator adalah ancaman nyata. Pemerintah melalui Kemenristekdikti dan berbagai universitas telah berupaya meminimalisir masalah ini dengan merilis daftar hitam (blacklist) dan mengadakan sosialisasi. Namun, pertahanan terbaik ada pada diri peneliti itu sendiri.
Sebelum mengirimkan naskah berharga Anda, selalu lakukan uji tuntas: periksa reputasi jurnal, cek daftar jurnal yang diakui Dikti atau indeks internasional seperti Scopus, dan jangan mudah tergiur dengan email yang menjanjikan publikasi kilat. Ingat, dalam dunia akademik, kualitas selalu mengalahkan kuantitas.




0 komentar