Syaikh Ahmad Muhammad Al-Hushari adalah penulis buku setebal 460 halaman ini. Belau dilahirkan di Gaza tepatnya Desa Syibran Namlah, pada bulan Dzul Hijjah 1335 H, bertepatan dengan 17 September 1917. Beliau berhasil menghafalkan 30 juz Alquran saat berusia 8 tahun. Kemudian Syaikh menempuh pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo. Pada tahun 1960 pula, ia diangkat pula menjadi Guru Besar para qari’ di Mesir. Setahun berikutnya, Syaikh Mahmud Khalil al-Khushari menjadi orang pertama yang bacaan Alqurannya 30 juz direkam. Selama kurang lebih 10 tahun berikutnya, beliau menjadi satu-satunya orang yang memiliki rekaman bacaan Alquran. Setelah itu, beliau melakukan rekaman 30 juz Alquran dengan riwayat Warasy ‘an Nafi’, kemudian Qalun ‘an Nafi’, dan ad-Dauri ‘an Abi Amr. Beliau juga merupakan muslim pertama yang melantunkan Alquran di Kongres Amerika Serikat. Beliau juga diizinkan menunaikan shalat di markas besar PBB. Beliau pula yang membacakan Alquran di hadapan para raja dan pemimpin dunia ketika beliau berkunjung ke Inggris.
Makkiyah dan Madaniyah
Al-Qur’an yang mulia diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari mulai dari pertama sampai ayat akhir. Pada waktu itu, sebagian ayat diturunkan ketika Rasullullah S.A.W berdomisili di makkah dan sebagian lain ketika berdomisili di Madinah. Ulama berbeda pendapat dalam masalah penamaan surah Makkiyah dan Madaniyah. Di antaranya sebagai berikut :
- Makkiyah dari Al-Qur’an adalah surat yang diturunkan kepada Nabi S.A.W ketika beliau di Makkah meskipun setelah hijrah dan Madaniyah dari Al-Qur’an adalah surat yang diturunkan kepada Nabi S.A.W ketika beliau di Madinah. Dari definisi ini timbul kejanggalan, berarti ada penamaan yang ketiga karena beliau terkadang tidak di makkah maupun Madinah.
- Makkiyah adalah surah yang diturunkan untuk mengkhithabi penduduk makkah dan Madaniyah untuk mengkhithabi penduduk Madinah.
- Makkiyah dari Al-Qur’an adalah surat yang diturunkan sebelum hijrah dan Madaniyah dari Al-Qur’an adalah surat yang diturunkan sesudah hijrah, meskipun beliau berada di Makkah.
Ilmu Tafsir Perbedaan antara Tafsir dan Ta’wil
Makna tafsir secara etimologi adalah jelas dan terang. Di antaranya firman allah,
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya”. (Al-Furqan: 33)
Yakni jelas dan rinci. Tafsir secara bahasa digunakan untuk arti membuka secara mata indra dan membuka dari makna yang ma’qul, dan penggunaannya untuk arti yang kedua lebih banyak dari pada digunakan untuk arti yang pertama.
Makna ta’wil secara etimologi, kata ta’wil berasal dari kata awwal berarti kembali. Penyusun kitab lisan al-arab mengatakan, al-awwal artinya kembali kepada sesuatu, yuawwilu awwalan wama’alan artinya kembali. Menurut ulama salaf, ta’wil mempunyai dua makna, pertama, ta’wil adalah menafsirkan Al-Qur’an dan menjelaskan artinya baik sesuai dengan zhahirnya atau berlawanan. Kedua, ta’wil-nya adalah fi’il yang dituntut, dan jika dikehendaki itu khabar maka ta’wil-nya adalah sesuatu yang dikabarkan.
Peperangan atau pencurian besar
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka) sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka; Maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Maa’idah: 33-34)
Dalam Hadist shahih,”hambaku aku sakit kamu tidak menjengukku, aku lapar kamu tidak memberiku makan, dan aku haus kamu tidak memberiku minuman, Maka Nabi berkata bagaimana hal tersebut dapat terjadi padahal engkau adalah Tuhan penguasa alam semesta. Hambaku yang bernama fulan sakit, jika engkau menjenguknya, maka engkau akan menemukanku padanya.”
Hal itu semua bagi Allah S.W.T tidak mungkin terjadi, tetapi Allah memberi kiasan dengan hal tersebut karena memuliakannya. Begitu juga perkara yang terjadi pada masalah ini.
Sebab turunnya ayat ini menurut Imam Ath-Thabari, para ahli ta’wil berbeda pendapat tentang kepada siapa ayat ini diturunkan. Sebagian berpendapat ayat ini diturunkan kepada orang-musyrik dan kaum yang murtad dari agama islam dan memerangi Allah dan Rasulnya.
Hukum yang diperoleh :
- Hukum syar’I ketika telah ditetapkan kepada pelaku maka wajib dilaksanakan dengan cera terang-terangan dan disaksikan sebagian manusia.
- Sesungguhnya hadd (hukuman) itu mencegah dan tidak bisa mengganti atau menghilangkan siksa di akhirat.
- Hukum hadd agama boleh memerintah atau menghukumi hanya terhenti pada melaksanakannya saja, tidak menambahi dan tidak menguranginya.
Pernikahan Dengan Perempuan Pezina dan Orang-orang Musyrik
Dikatakan bahwa sesungguhnya sebab turunnya ayat (An-Nur: 3), khusus mengenai seorang laki-laki dari golongan muslim yang meminta izin kepada Rasulullah S.A.W dalam rangka ingin menikahi salah satu perempuan. Dikatakan bahwa perempuan tersebut bernama Umi Mahzul, ia seorang perempuan nakal yang menjadi pezina. Perempuan itu mempunyai syarat akan menafkahi terhadap laki-laki tersebut. Kemudian Allah S.W.T menurunkan ayat ini. Dikatakan oleh Ibnu Umar dan Muhajid.
Hukum yang dapat diambil dari ayat ini adalah sebuah kabar berita yaitu sesungguhnya laki-laki pezina tidak diperbolehkan menikah kecuali dengan perempuan atau perempuan musyrik dan juga sesungguhnya perempuan pezina tidak diperbolehan menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau laki-laki musyrik.
Al-Jashash berkata, “Barangsiapa yang melarang pernikahan dengan wanita yang berzina, ia telah menakwilkan ayat ini. Para Fuqaha kontemporer sepakat tentang kebolehan menikahi wanita zina, karena perzinaan tidak menyebabkan haramnya nikah dan tidak mengharuskan pemisahan antara kedua pasang tersebut. Ibnul Arabi berkata, “Ayat ini tidak di-nasakh melainkan takhshish atas kalimat yang umum.”
Hukuman Bagi Pezina
Allah telah mengawali pada ayat (An-nur:2) tentang zina dengan wanita dan dalam ayat tentang pencurian dengan laki-laki kemudian berfirman,”laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya.”
Hikmah dalam hal tersebut adalah sesungguhnya zina dari seorang wanita itu lebih buruk, karena dari hal tersebut kejelekan datang secara berurutan kepada kaum muslimin seluruhnya. Adapun mencuri maka biasanya terjadi atau dilakukan oleh seorang laki-laki, karena laki-laki lebih berani dari wanita, maka laki-laki didahulukan dari wanita.
Batasan zina
Apabila yang berzina itu adalah perawan dengan perjaka, maka hukumannya adalah dicambuk atau didera seratus kali dan diasingkan selama setahun. Dan apabila yang berzina adalah perempuan yang sudah pernah menikah dengan laki-laki yang sudah pernah menikah, maka hukumannya adalah dicambuk atau didera seratus kali dan dirajam (dilempari batu hingga mati).
Orang yang melakukan zina dengan binatang
Abu Hanifah, Abu Yusuf, Zafr, Muhammad, Malik, dan Utsman Al-Bitti, mereka mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang melakukan perbuatan zina dengan binatang, tidaklah terkena hukum hadd akan tetapi ia dikenakan hukuman ta’zir dan diambil dari riwayat ahmad yang mengatakan bahwa sesungguhnya orang yang melakukan zina dengan binatang adalah sama dengan pelaku liwath yang hukumannya adalah dibunuh.
Disyariatkannya Berperang
Dalam Firmannya (Al-Hajj: 38) artinya anjuran untuk orang islam melakukan jihad di jalan Allah adalah cara untuk mencapai kepada-Nya untuk membela orang yang jihad, karena mereka berjuang untuk agama. Jika membunuh bukanlah cinta dalam pertumpahan darah dan hilangnya nyawa seperti yang dituduhkan musuh Islam. Karena Islam adalah agama perdamaian, aman, rahmat, dan memberikan ketenangan, tetapi Tuhan memperbolehkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yaitu menghapus ketidakadilan, menolak penyerangan, yang berlangsung dari orang kafir terhadap muslim, baik di rumah dan diri mereka sendiri dan agama.
Ayat ini (Al-Buruj: 8) menjadi landasan diperbolehkannya perang dengan syarat-syarat:
- Perang yang defensif (jadi mereka yang melawan).
- Menolak kezaliman yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin baik terhadap tanah maupun agama.
- Menolak penyerangan dalam peperangan dan tidak membunuh selain pasukan perang karena Allah membenci orang yang melampaui batas
Jihad Umum dengan Jiwa Raga dan Harta
Apakah dicela perintah mempertahankan jiwa ? Tidak, bahkan mempertahankan jiwa sangat dianjurkan dan ia adalah jalan menjaga kelangsungan hidup di muka bumi, sebagaimana di jelaskan, “seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (Al-Baqarah: 251)
Sebab turunnya ayat, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-Dhahak bahwa Rasulullah S.A.W keluar pada tahun Hudaibiyah untuk melakukan Umrah. Umrah tersebut dilakukan pada bulan Dzul Qa’dah tahun 6 H. Kemudian penduduk Makkah mencegahnya untuk melakukan umrah. Kemudian mereka menawarkan perdamaian kepada nabi Muhammad untuk pulang dan kembali pada tahun depan sehingga penduduk Makkah meninggalkan kota Makkah untuk Nabi selama beberapa hari. Maka Rasullah pada tahun berikutnya yaitu bulan Dzulhijjah tahun 7 H masuk ke kota Makkah dan melakukan ibadah Umrah. Maka turunlah ayat ini.
Perkawinan
Dalam (Al-Baqarah: 221) Al-Musyrikat adalah semua perempuan musyrik (orang yang menyekutukan) Allah baik ia penyembah berhala, orang Yahudi atau Nasrani, ini pendapat Ibnu Umar R. A. dalam ayat tersebut tidak ada penasikhan dan tidak ada yang dikhususkan, maka semua perempuan tersebut haram dinikahi orang muslim.
Dalam kitab ahkam Al-Qur’an karya Ibnul Arabi, diriwayatkan dari Ibnu Umar R. A bahwa ia menghukumi makruh untuk menikahi perempuan Nasrani, Yahudi, dan mengatakan,”Tidak ada perbuatan syirik yang lebih besar dari pada seseorang yang mengatakan bahwa Isa adalah Allah atau anaknya, dari perkataan orang-orang zalim dan sombong.”
Bersenang-senang yang disyariatkan kepada istri
Qatadah berkata,”orang-orang jahiliah tidak tinggal bersama serumah dengan istrinya yang sedang haid dan tidak menemani makan dalam satu wadah kemudian mereka bertanya kepada nabi S.A.W maka turunlah ayat tersebut. Allah mengharamkan farji-nya perempuan yang haid saja ketika ia selama masih dalam keadaan haid dan menghalalkan selain farji, ia boleh menemani kamu makan, dan menemani tidur dalam satu tikar, jika wanita itu mengenakan sarung penghalang yang bisa menghalanginya darimu.
Dalam kasus lesbian tidak pernah ditemukan perselisihan antara para ulama fikih bahwa sesungguhya orang yang melakukan lesbian itu tidak dikenakan hukuman hadd kecuali hanya diberi hukuman yang bersifat memberikan efek jera (ta’zir).
Dan liwath (sesama laki-laki dari jalan dubur), Abu Hanifah mengatakan bahwa orang yang melakukan liwath itu hanya dikenakan hukuman yang memberikan efek jera (ta’zir) dan tidak dikenakan hukuman hadd.
Hukum yang dapat diambil dari ayat, Ulama berbeda pendapat tentang perkara yang wajib seorang suami ketika istri sedang haid, dan kami memaparkan perbedaan tersebut sebagai berikut :
- Wajib menjauhi seluruh tubuh sang istri ketika ia sedang menjalani haid.
- Wajib menjauhi tempat kotoran istri yang sedang haid
- Wajib menjauhi perkara yang ada diantara pusar dan lutut dari anggota badan perempuan yang lagi haid dan bagi suami boleh bersenang-senang terhadap anggota badan yang ada di atas pusar dan di bawah lutut.
Ulama hanafiyah berkata, “Jika darah haid berhenti dan masanya kurang dari sepuluh hari, maka ia dihukumi sebagai orang yang masih haid sehingga ia menemukan air atau waktu shalat terlah lewat, jika salah satu dari keduanya ini ada, maka istri telah keluar dari haid dan halal bagi suami serta masa iddahnya telah usai.
0 komentar