Minimnya Budaya Antri

by - Oktober 18, 2018

Menunggu di sebuah antrian memang membutuhkan kesabaran yang ekstra tapi dengan menunggu semua akan merasa adil karena sudah sesuai haknya. Faktanya masih sedikit orang yang menerapkan budaya mengantri di kehidupan sehari-hari padahal dengan terbiasa sabar mengantri bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah nepotisme yang marak terjadi.

Menurut saya kesabaran dalam mengantri berbanding lurus dengan kesabaran untuk tidak ikut melakukan praktek kecurangan seperti nepotisme. Di Indonesia sendiri kebanyakan orang tua lebih khawatir jika anaknya kelak tidak bisa membaca, berhitung, dan menulis dibandingkan tidak bisa bersabar untuk mengantri dengan benar. Saking parahnya Minimnya Budaya Antri ini, keadaan seperti dibawah mungkin sering anda temui di keseharian.
  • Orangtua yang memaksa anaknya untuk ”menyusup” ke antrian depan dan mengambil hak anak lain yang lebih dulu mengantri dengan rapi. Dan berkata ”Sudah cuek saja, pura-pura gak tau aja”, dari sinilah bibit untuk tidak malu lagi mengambil hak orang lain mulai lahir, hingga pada yang terburuk adalah lahirnya nepotisme secara masif.
  • Orangtua yang memarahi anaknya dan berkata ”Dasar Penakut”, karena anaknya tidak mau dipaksa menyerobot antrian. Padahal jika kita sadari, kita dilahirkan untuk takut mengambil hak orang lain termasuk kedalamnya posisi antrian, dan posisi lainnya.
  • Pribadi yang marah dengan beringas karena ditegur gara-gara menyerobot antrian orang lain, lalu ngajak berkelahi si penegur, yang parahnya orang disekitar cenderung tidak peduli dengan apa yang dialami penegur walaupun kejadian itu juga mengambil haknya (orang disekitar).
Keadaan ini berbanding terbalik dengan yang terjadi di negara maju seperti Australia dan Jepang. Frisadhi Kelana bercerita, Seorang guru di Australia pernah berkata “Kami tidak terlalu khawatir anak-anak sekolah dasar kami tidak pandai Matematika. Kami jauh lebih khawatir jika mereka tidak pandai mengantri.” Jawabannya ialah :
  • Karena kita hanya perlu melatih anak 3 bulan saja secara intensif untuk bisa Matematika, sementara kita perlu melatih anak hingga 12 Tahun atau lebih untuk bisa mengantri dan selalu ingat pelajaran penting di balik proses mengantri.
  • Karena tidak semua anak kelak menggunakan ilmu matematika kecuali tambah, kali, kurang dan bagi. Karena bisa jadi sebagian dari mereka nanti berprofesi sebagai penari, atlet, musisi, pelukis, dsb.
  • Karena semua murid sekolah pasti lebih membutuhkan pelajaran Etika Moral dan ilmu berbagi dengan orang lain saat dewasa kelak, dengan pelajaran ini angka nepotisme yang selama ini menjadi momok di tengah-tengah masyarakat dapat teratasi.
Untuk anak sendiri terdapat banyak sekali pelajaran yang dapat diperoleh seperti:
  • Anak belajar manajemen waktu jika ingin mengantri paling depan datang lebih awal dan persiapan lebih awal.
  • Anak belajar bersabar menunggu gilirannya jika ia mendapat antrian di tengah atau di belakang, sehingga semua merasa haknya sudah terpenuhi.
  • Anak belajar menghormati hak orang lain, yang datang lebih awal dapat giliran lebih awal.
  • Anak belajar disiplin, setara, tidak menyerobot hak orang lain.
  • Anak belajar kreatif untuk memikirkan kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebosanan saat mengantri. Di negeri sakura dan islandi lebih produktif lagi, mereka terbiasa membaca buku saat sedang menunggu antrian.
  • Anak bisa belajar bersosialisasi menyapa dan berkomunikasi dengan orang lain di antrian, yang otomatis mengeratkan ikatan sosial yang mulai renggang dengan kehadiran smartphone.
  • Anak belajar tabah dan sabar menjalani proses dalam mencapai tujuannya.
  • Anak belajar hukum sebab akibat, bahwa jika datang terlambat harus menerima konsekuensinya di antrian belakang.
  • Anak belajar memiliki rasa malu, jika ia menyerobot antrian dan hak orang lain.
Paling parahnya, kebiasan ini juga dilakukan oleh pejabat yang seharusnya menjadi panutan ditengah-tengah masyarakat, contohnya tidak jarang kita temui pejabat memotong antrian dengan mudah saja padahal itu untuk kepentingan pribadi semata, bukan untuk kepentingan orang banyak. Sebagai pembaca yang peduli terhadap masa depan bangsa, sedih memang mengetahui keadaan ini tapi itulah yang sedang terjadi saat ini. Dan jika disadari kita bisa memiliki gambaran masa depan bangsa Indonesia dari kondisi dan kualitas manusia kita sekarang di masa anak-anak ini.

You May Also Like

0 komentar