• Home
  • Opini
  • Sosial
  • Islam
  • Minat
    • Teknologi
    • Artificial Intelligence
    • Internet
    • Food
    • Millennial
    • Seputar PNS
    • Lingkungan
    • Garis Hitam Project
  • Pendidikan
    • SD/MI
    • SMP/MTS
    • SMA/MA
    • Sarjana
    • Magister
  • Buku
  • Jual Foto
    • Portfolio Shutterstock
    • Tips Foto
  • More
    • About
    • LAYANAN/PRODUK KAMI
    • FAQ
    • Kontak
    • DISCLAIMER
    • KEBIJAKAN PRIVASI
    • KETENTUAN LAYANAN
    • Sitemap
    • PRIVACY POLICY
    • TERM OF SERVICE
Diberdayakan oleh Blogger.
Email bloglovin facebook instagram twitter whatsapp pinterest

Hei Sobat !

Prolog

Di tengah derasnya arus transformasi digital, sektor publik dihadapkan pada tantangan besar untuk terus meningkatkan kinerjanya. Namun, sekadar membeli teknologi canggih ternyata tidak cukup. Kunci utamanya justru terletak pada faktor manusia: kepemimpinan yang visioner dan kompetensi digital para pegawainya.

Sebuah riset terbaru yang kami lakukan di lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Agama Sulawesi Barat menunjukkan adanya penurunan kinerja pegawai yang cukup drastis, dari 86,34% pada tahun 2021 menjadi hanya 45,04% di awal tahun 2024. Fenomena ini memicu pertanyaan mendasar: Mengapa digitalisasi yang digadang-gadang sebagai solusi justru belum menunjukkan hasil optimal?

Penelitian kami mencoba menjawab pertanyaan tersebut dengan menganalisis tiga faktor krusial: kepemimpinan digital, kompetensi digital pegawai, dan transformasi digital organisasi secara keseluruhan.

Tiga Pilar Penentu Kinerja di Era Digital

Untuk memahami akar permasalahan, kami melihat tiga elemen yang saling terkait sebagai fondasi kinerja di lingkungan kerja modern.

  1. Kepemimpinan Digital: Ini bukan sekadar tentang manajemen biasa. Kepemimpinan digital adalah kemampuan seorang pemimpin untuk merumuskan visi strategis di tengah perubahan teknologi, menginspirasi tim, dan memandu organisasi melewati ekosistem digital yang kompleks. Pemimpin digital tidak hanya fokus pada adopsi teknologi, tetapi juga pada bagaimana teknologi dapat mengubah budaya kerja menjadi lebih lincah dan berorientasi pada data.
  2. Kompetensi Digital Pegawai: Di era sekarang, keahlian digital adalah sebuah keharusan. Kompetensi ini mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk menggunakan perangkat digital secara percaya diri dan efisien. Lebih dari sekadar bisa mengoperasikan aplikasi, kompetensi ini meliputi literasi data, kemampuan komunikasi di platform digital, pembuatan konten, hingga pemecahan masalah berbasis teknologi.
  3. Transformasi Digital Organisasi: Ini adalah perubahan fundamental tentang bagaimana sebuah organisasi beroperasi dan memberikan nilai. Proses ini bukan hanya tentang digitalisasi dokumen, melainkan integrasi teknologi secara menyeluruh untuk menciptakan model layanan baru, meningkatkan pengalaman pengguna, dan mengoptimalkan efisiensi.

Temuan Utama: Manusia Lebih Unggul dari Teknologi

Setelah melakukan survei terhadap 673 aparatur sipil negara (ASN) dan menganalisis data menggunakan metode Structural Equation Modeling-Partial Least Square (SEM-PLS), kami menemukan hasil yang sangat menarik.

Ketiga faktor yang kami teliti—kepemimpinan, kompetensi, dan transformasi digital—terbukti berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Namun, urutan pengaruhnya memberikan sebuah pelajaran penting.

  • Peringkat #1: Kompetensi Digital Pegawai (Pengaruh 36,4%). Faktor inilah yang menjadi penentu paling dominan. Secanggih apa pun sistem yang tersedia, efektivitasnya bergantung pada kemampuan pengguna untuk memanfaatkannya secara optimal.
  • Peringkat #2: Kepemimpinan Digital (Pengaruh 28,1%). Pemimpin yang memiliki visi digital yang jelas mampu menciptakan lingkungan yang mendukung inovasi. Arahannya memotivasi pegawai dan memastikan investasi teknologi memberikan dampak nyata pada produktivitas.
  • Peringkat #3: Transformasi Digital (Pengaruh 18,0%). Meskipun penting, penyediaan infrastruktur dan sistem digital (transformasi) memiliki dampak paling rendah dibandingkan dua faktor manusia lainnya. Ini menegaskan bahwa teknologi hanyalah alat—bukan penentu tunggal.

Secara kolektif, ketiga variabel ini mampu menjelaskan 57,3% variasi dalam kinerja pegawai, yang menunjukkan bahwa model penelitian kami memiliki relevansi prediktif yang kuat.

Implikasi Praktis untuk Instansi Pemerintah

Dari temuan ini, ada beberapa rekomendasi strategis yang bisa diambil oleh instansi pemerintah dan organisasi sektor publik lainnya:

  1. Prioritaskan Investasi pada Sumber Daya Manusia: Daripada hanya berfokus pada pengadaan teknologi, alokasikan anggaran yang lebih besar untuk program pelatihan kompetensi digital yang komprehensif dan berkelanjutan bagi seluruh pegawai.
  2. Kembangkan Kader Pemimpin Digital: Ciptakan program pengembangan kepemimpinan yang berfokus pada visi strategis, manajemen perubahan di era digital, dan kemampuan memupuk inovasi.
  3. Integrasikan Strategi Teknologi dan SDM: Pastikan setiap inisiatif transformasi digital diimbangi dengan strategi pengembangan sumber daya manusia. Teknologi baru harus didukung oleh tenaga kerja yang terampil dan dipimpin oleh pemimpin yang kompeten.

Kesimpulan

Penelitian ini menegaskan sebuah kesimpulan penting: untuk mencapai kinerja unggul di era digital, organisasi sektor publik harus menggeser fokusnya. Bukan lagi tentang "teknologi apa yang kita beli," melainkan tentang "bagaimana kita mempersiapkan orang-orang kita."

Kompetensi digital pegawai dan kepemimpinan digital adalah dua pilar utama yang harus dibangun terlebih dahulu. Ketika manusia sebagai motor penggerak telah siap, barulah transformasi digital dapat berjalan efektif dan memberikan hasil yang diharapkan. Pada akhirnya, keberhasilan digitalisasi tidak diukur dari kecanggihan teknologi, melainkan dari peningkatan kualitas layanan kepada masyarakat.

Artikel ini diadaptasi dari penelitian berjudul "Digital Leadership, Competence, and Transformation: Driving Public Sector Performance in the Digital Era" oleh Achmad Nur dan Fetty Poerwita Sary dari Telkom University.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


Di negara berkembang dengan ikatan tradisional yang masih kental, kualifikasi profesional seringkali dikesampingkan. Seseorang bisa mendapatkan pekerjaan atau jabatan bukan karena kemampuannya, melainkan karena kedekatannya dengan politisi, pemilik bisnis, atau manajer. Praktik ini, yang dikenal luas sebagai favoritisme, bukanlah fenomena baru. Jejaknya bahkan bisa kita telusuri hingga ke salah satu kekaisaran terbesar dalam sejarah: Kekaisaran Ottoman.

Sebuah studi yang dipresentasikan dalam International Symposium on Sustainable Development (2009) mengupas secara mendalam bagaimana praktik favoritisme, khususnya nepotisme (favoritisme berbasis kekerabatan), terjadi dalam struktur pemerintahan Ottoman. Memahami sejarah ini menjadi relevan karena, dulu maupun sekarang, nepotisme masih menjadi cara ampuh untuk mengendalikan proses manajemen dalam berbagai organisasi.

Memahami Konsep Favoritisme dan Nepotisme

Secara sederhana, favoritisme adalah perlakuan istimewa yang diberikan kepada seseorang. Dalam konteks birokrasi, ini bisa berarti seorang pejabat publik membela kerabatnya yang melanggar hukum. Literatur membedakan beberapa jenis favoritisme:

  • Nepotism: Favoritisme yang didasarkan pada hubungan keluarga atau kerabat.

  • Cronyism: Favoritisme yang didasarkan pada hubungan pertemanan atau kenalan.

  • Patronage: Favoritisme yang didasarkan pada afiliasi politik.

Di sektor publik, alasan di balik favoritisme tidak melulu soal uang. Loyalitas dan rasa tanggung jawab terhadap "orang dalam" seringkali menjadi pendorong utama. Ikatan kekerabatan digunakan sebagai alat untuk memengaruhi pejabat, menggantikan imbalan ekonomi seperti barang atau uang.

Awal Mula Nepotisme: Dari Naluri Hingga Struktur Sosial

Secara biologis, memilih kerabat (kin selection) adalah naluri alami manusia, bahkan hewan sekalipun. Dari sudut pandang ini, nepotisme bisa dianggap sebagai perilaku yang rasional. Namun, dalam konteks sosial dan organisasi modern, praktik ini menjadi masalah.

Struktur keluarga dan masyarakat memainkan peran besar. Dalam masyarakat kolektif, di mana kepentingan keluarga dan solidaritas kelompok lebih diutamakan daripada nilai-nilai etika universal, nepotisme tumbuh subur. Ketika loyalitas pada kelompok melebihi rasionalitas ekonomi, maka proses rekrutmen yang sederhana pun akan diwarnai oleh praktik favoritisme.

Nepotisme di Kekaisaran Ottoman: Dari Pengecualian Menjadi Aturan

Hingga abad ke-16, Kekaisaran Ottoman relatif bersih dari praktik favoritisme. Prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran yang ditanamkan oleh para pendiri seperti Osman Gazi dan Syekh Edebali menjadi benteng yang kokoh. Namun, memasuki akhir abad ke-16, seiring dengan melemahnya otoritas pemerintah dan munculnya masalah finansial, korupsi, suap, dan nepotisme mulai menyebar luas.

Sistem medresseh (pendidikan) yang sebelumnya sangat menjunjung tinggi kualifikasi akademis mulai terintervensi oleh politik dan favoritisme. Jabatan-jabatan penting tidak lagi diisi berdasarkan kompetensi, melainkan kedekatan.

Salah satu contoh paling ikonik adalah praktik "cradle of ulema" (Buaian Ulama). Jika seorang ulama (cendekiawan) memiliki anak laki-laki, anak tersebut secara otomatis akan mendapatkan gaji setara dengan ayahnya sejak lahir, dengan asumsi ia akan tumbuh menjadi cendekiawan juga. Praktik ini menjadi simbol bagaimana nepotisme telah merusak sistem meritokrasi di Ottoman.

Contoh lain adalah pengangkatan menantu-menantu Sultan (damat) ke posisi-posisi strategis. Meskipun beberapa di antaranya memang memiliki kapabilitas, seperti Ibrahim Pasha, banyak juga yang diangkat murni karena hubungan keluarga, bukan karena kualifikasi.

Upaya Pemberantasan: Sistem DevÅŸirme dan Reformasi

Kekaisaran Ottoman sebenarnya menyadari bahaya favoritisme. Salah satu upaya paling signifikan untuk mencegahnya adalah sistem devÅŸirme. Dalam sistem ini, anak-anak non-Muslim dari wilayah Balkan direkrut, dididik di istana, dan diangkat menjadi pejabat tinggi atau prajurit Janissari. Karena mereka tidak memiliki kerabat di dalam struktur kekuasaan, diharapkan mereka bisa bekerja secara profesional tanpa bias favoritisme. Banyak tokoh besar seperti Sokullu Mehmet Pasha dan arsitek legendaris Mimar Sinan adalah produk dari sistem ini.

Namun, seiring berjalannya waktu, sistem ini pun mengalami kemunduran. Reformasi-reformasi lain, seperti yang diupayakan oleh Sultan Selim III pada abad ke-18, mencoba untuk mengembalikan meritokrasi dan memberantas suap, namun seringkali gagal karena tidak mendapat dukungan penuh dari para pejabatnya.

Pelajaran dari Sejarah

Kisah pasang surut nepotisme di Kekaisaran Ottoman memberikan pelajaran berharga. Ia menunjukkan bahwa sistem yang paling kokoh sekalipun bisa runtuh ketika prinsip-prinsip keadilan dan meritokrasi mulai terkikis oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Sejarah ini mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan favoritisme adalah perjuangan berkelanjutan untuk menjaga integritas dan kesehatan sebuah organisasi, entah itu sebuah kekaisaran besar maupun institusi modern.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Korupsi bukanlah sekadar penyakit biasa yang bisa disembuhkan dengan obat pereda nyeri. Di banyak negara, ia telah menjelma menjadi wabah, sebuah epidemi yang menyebar dari institusi pemerintah hingga ke jalanan, dan akhirnya mendarah daging menjadi budaya. Praktik ini, yang seringkali dibungkus dengan istilah-istilah halus seperti "uang teh", "gratifikasi", atau bahkan "vitamin nepotisme", telah menjadi cara paling efektif untuk menyelesaikan urusan dan mencapai kepentingan pribadi.

Sebuah studi yang dipublikasikan di Social Science Research Network (SSRN) oleh Dr. Rasha A. Waheeb mengupas tuntas bagaimana korupsi administratif menjadi penghambat utama pembangunan sebuah negara. Ketika warga negara harus membayar suap hanya untuk mendapatkan izin listrik, sambungan air, atau izin mendirikan bangunan, mereka tanpa sadar telah menjadi bagian dari siklus korupsi yang melumpuhkan.

Dampak Sistemik: Dari Ekonomi Runtuh hingga Kehancuran Sosial

Korupsi bukanlah kejahatan tanpa korban. Dampaknya bersifat sistemik dan merusak di segala lini kehidupan bernegara.

  1. Keruntuhan Ekonomi: Laporan dari International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2016 memperkirakan bahwa kerugian akibat suap saja mencapai $1.5 hingga $2 triliun per tahun, atau sekitar 2% dari PDB dunia. Angka ini belum termasuk kerugian dari praktik korupsi lainnya seperti pencucian uang, penggelapan pajak, dan penyelewengan dana publik yang seharusnya digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

  2. Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Ada hubungan erat antara korupsi dan pelanggaran HAM. Para koruptor seringkali melihat kebebasan sipil sebagai penghalang tujuan mereka. Akibatnya, individu yang berani melaporkan tindak korupsi justru seringkali mendapatkan intimidasi dan tekanan, sementara pemerintah yang korup kehilangan kapasitas untuk melindungi hak-hak warganya.

  3. Meningkatnya Kemiskinan dan Ketidaksetaraan: Korupsi menciptakan ketidakadilan dalam distribusi kekayaan. Dana publik yang seharusnya menjadi investasi untuk kesejahteraan masyarakat justru masuk ke kantong segelintir pejabat. Hal ini menyebabkan ketidakmampuan negara dalam menyediakan layanan dasar, yang pada akhirnya memperlebar jurang kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial.

  4. Instabilitas dan Kejahatan yang Merajalela: Ketika korupsi mengakar, stabilitas dan keamanan negara menjadi taruhan. Ketidakpercayaan pada sistem hukum dan pemerintah dapat memicu konflik sosial, bahkan hingga kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan. Korupsi, pada dasarnya, adalah "ekonomi politik dari kekerasan" (political economy of violence).

Korupsi Sebagai Budaya: Saat yang Salah Menjadi Biasa

Salah satu aspek paling berbahaya dari korupsi adalah ketika ia bertransformasi menjadi sebuah budaya (culture of corruption). Di titik ini, masyarakat mulai menerima dan memaklumi praktik korupsi sebagai sesuatu yang "lumrah" dan bahkan menjadi bagian dari "kebutuhan" untuk bertahan hidup. Studi ini membedakan tiga jenis budaya korupsi:

  • Budaya yang Menerima Korupsi (Coexisting with Corruption): Masyarakat menganggap korupsi sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Istilah "korupsi" kehilangan makna aslinya dan digantikan dengan kata-kata yang lebih sopan.

  • Budaya Korupsi Bersyarat (Conditional Corruption): Korupsi diperangi secara verbal, namun dimaklumi jika dilakukan untuk "sekadar menyambung hidup" atau dalam kondisi terdesak. Budaya ini sangat rentan untuk tergelincir menjadi penerimaan total.

  • Budaya yang Menolak Korupsi (Rejecting Corruption): Terbentuk karena alasan kultural yang kuat (seperti di Jepang dan Singapura) atau karena institusi negara yang berhasil membangun iklim integritas (climate of integrity).

Jalan Keluar: Membangun Kembali Negara Bebas Korupsi

Memberantas korupsi bukanlah tugas yang mudah, namun bukan berarti mustahil. Kuncinya terletak pada reformasi institusional dan penguatan demokrasi. Beberapa mekanisme kunci yang terbukti efektif antara lain:

  1. Sirkulasi Kekuasaan yang Damai: Pergantian kepemimpinan secara demokratis membuka ruang untuk membongkar praktik korupsi dari rezim sebelumnya.

  2. Multiplisitas Pusat Kekuasaan: Adanya mekanisme check and balances antar lembaga negara memungkinkan pengawasan yang lebih efektif dan mempersulit terjadinya penyelewengan.

  3. Media dan Yudikatif yang Independen: Pers yang bebas, pengadilan yang independen, dan masyarakat sipil (civil society) yang kuat adalah pilar utama dalam mengungkap dan mencegah korupsi.

Perang melawan korupsi tidak kalah sucinya dengan perang melawan terorisme. Ia adalah fondasi dari legitimasi moral setiap pemerintahan. Membangun kembali negara yang kuat dan sejahtera hanya bisa dimulai dengan memberantas wabah korupsi hingga ke akarnya. 

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Sebagai seorang karyawan di sektor publik, Anda mungkin berpikir bahwa leadership adalah ranah para atasan dan manajer. Namun, kenyataannya, keterampilan leadership memiliki peran yang jauh lebih penting dan memberdayakan bagi setiap individu dalam organisasi pemerintahan. Mengembangkan jiwa kepemimpinan, terlepas dari posisi formal Anda, dapat membawa dampak positif yang signifikan bagi diri Anda, tim Anda, dan kualitas pelayanan publik secara keseluruhan.

sumber : https://wqa.co.id/wp-content/uploads/2019/03/Pentingnya-Memiliki-Jiwa-Leadership-dalam-bekerja.jpg

Lebih dari Sekadar Jabatan: Memahami Esensi Leadership

Leadership bukan sekadar tentang memberikan perintah atau mengawasi bawahan. Intinya adalah kemampuan untuk mempengaruhi, memotivasi, dan menginspirasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Dalam konteks sektor publik, ini berarti mampu mendorong kolaborasi, menginisiasi perbaikan, dan menjadi agen perubahan positif, bahkan tanpa harus memiliki posisi struktural yang tinggi.

Mengapa Leadership Sangat Penting bagi Karyawan Sektor Publik?

  1. Meningkatkan Efektivitas Tim: Karyawan dengan skill leadership yang baik cenderung lebih proaktif dalam berkolaborasi dan berkontribusi dalam tim. Mereka dapat mengidentifikasi masalah, menawarkan solusi, dan memotivasi rekan kerja untuk mencapai hasil yang lebih baik. Ini secara langsung meningkatkan efektivitas dan produktivitas tim secara keseluruhan.

  2. Mendorong Inisiatif dan Inovasi: Jiwa kepemimpinan mendorong karyawan untuk berpikir di luar kotak dan mengambil inisiatif untuk perbaikan. Mereka tidak hanya menunggu perintah, tetapi berani mengusulkan ide-ide baru dan mencari cara yang lebih efisien dan efektif dalam memberikan pelayanan publik.

  3. Meningkatkan Kemampuan Problem Solving: Karyawan yang memiliki sense of leadership cenderung lebih analitis dan mampu menghadapi tantangan dengan kepala dingin. Mereka tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga aktif mencari solusi dan melibatkan orang lain dalam proses pemecahan masalah.

  4. Membangun Kepercayaan dan Hubungan yang Kuat: Leadership yang efektif didasarkan pada komunikasi yang jelas, empati, dan kemampuan membangun hubungan yang positif dengan rekan kerja dan stakeholder. Karyawan yang memiliki skill ini mampu menciptakan lingkungan kerja yang lebih harmonis dan kolaboratif.

  5. Membuka Peluang Pengembangan Karir: Organisasi sektor publik semakin menyadari pentingnya leadership di semua tingkatan. Karyawan yang menunjukkan potensi kepemimpinan, terlepas dari jabatannya saat ini, akan memiliki peluang yang lebih besar untuk pengembangan karir dan promosi di masa depan. Mereka dianggap sebagai aset berharga yang dapat membawa organisasi menuju kemajuan.

  6. Meningkatkan Kualitas Pelayanan Publik: Pada akhirnya, dampak paling signifikan dari leadership di kalangan karyawan sektor publik adalah peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Karyawan yang termotivasi, proaktif, dan mampu berkolaborasi akan memberikan pelayanan yang lebih responsif, efisien, dan berorientasi pada kebutuhan publik.

Bagaimana Karyawan Sektor Publik Dapat Mengembangkan Leadership?

  1. Mengembangkan Keterampilan Komunikasi: Belajar menyampaikan ide dengan jelas dan efektif, serta menjadi pendengar yang baik.
  2. Membangun Empati dan Kecerdasan Emosional: Memahami dan merespons emosi orang lain dengan tepat.
  3. Mengambil Inisiatif: Jangan ragu untuk mengusulkan ide dan mengambil tanggung jawab lebih.
  4. Belajar Memberikan dan Menerima Feedback: Feedback konstruktif sangat penting untuk pertumbuhan.
  5. Menjadi Contoh yang Baik: Tunjukkan etos kerja yang tinggi, integritas, dan komitmen terhadap tujuan organisasi.
  6. Mencari Peluang Pengembangan Diri: Ikuti pelatihan, seminar, atau workshop yang fokus pada pengembangan leadership.

Leadership bukanlah hak istimewa segelintir orang di puncak organisasi. Ini adalah keterampilan penting yang harus dimiliki oleh setiap karyawan di sektor publik. Dengan mengembangkan jiwa kepemimpinan, Anda tidak hanya meningkatkan efektivitas diri dan tim, tetapi juga berkontribusi secara signifikan terhadap kualitas pelayanan publik dan membuka jalan bagi pengembangan karir Anda. Mari bersama-sama membangun budaya leadership yang kuat di sektor publik demi kemajuan bangsa.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Quiet Firing: Apa Itu, Bagaimana Mengatasinya, dan Apakah Legal?

Quiet firing adalah strategi yang digunakan oleh beberapa perusahaan untuk mengurangi jumlah karyawan tanpa harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara langsung. Dengan cara ini, perusahaan berharap karyawan yang tidak diinginkan akan mengundurkan diri dengan sukarela karena merasa tidak nyaman atau tidak puas dengan kondisi kerja mereka. Namun, apakah quiet firing itu, bagaimana mengatasinya, dan apakah legal? Simak ulasan berikut ini untuk mengetahui jawabannya.

Apa Itu Quiet Firing?

Quiet firing adalah ketika manajemen menciptakan kondisi kerja yang tidak ideal untuk membuat karyawan yang kurang berkinerja baik mengundurkan diri. Contoh taktik ini termasuk menunda promosi dan mengisolasi karyawan. Konsep ini adalah cara yang kontroversial dan tidak konfrontatif untuk meyakinkan karyawan untuk meninggalkan perusahaan, namun bukan pendekatan yang disarankan karena banyak kelemahan. Quiet firing mirip dengan konsep “pemecatan konstruktif”, yaitu pada dasarnya dipaksa untuk mengundurkan diri dan dapat menjadi alasan untuk menuntut majikan. Beberapa tanda peringatan yang dapat menunjukkan bahwa majikan mencoba “memotivasi” karyawan keluar pintu antara lain:

  • Perubahan terkait tanggung jawab kerja:

  1. Menyerahkan tanggung jawab pekerjaan penting kepada karyawan lain
  2. Mendemosikan karyawan, atau mengubah deskripsi pekerjaannya
  3. Tidak memberikan peluang baru yang menjanjikan
  4. Menetapkan target kinerja yang tidak masuk akal
  5. Memberikan karyawan tanggung jawab yang tidak diinginkan atau tidak sesuai dengan perannya
  6. Mencegah karyawan mendapatkan promosi yang pantas

  • Perubahan terkait kompensasi:

  1. Pengurangan gaji
  2. Mencegah karyawan mendapatkan penghasilan lebih dengan mengambil pekerjaan tambahan atau lembur
  3. Tidak memberikan bonus atau kenaikan gaji tahunan yang diharapkan
  • Perubahan terkait kondisi kerja:
  1. Mengubah jam kerja atau shift reguler
  2. Meningkatkan beban kerja hingga tingkat yang tidak masuk akal atau tidak terkelola
  3. Memaksa karyawan untuk pindah lokasi
  4. Menghilangkan “fasilitas” seperti kantor atau tempat parkir

  • Perubahan terkait komunikasi dengan atasan:

  1. Tidak membahas jalur karier atau memberikan umpan balik kinerja

Bagaimana Mengatasi Quiet Firing?

Jika kamu merasa sedang di-quiet firing, ada beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk mengatasinya, antara lain:

  • Berkomunikasi dengan atasanmu secara terbuka dan jujur. Jelaskan kekhawatiranmu dan tanyakan apakah ada masalah dengan kinerjamu atau hubunganmu dengan atasan. Mintalah umpan balik yang konstruktif dan saran untuk memperbaiki situasimu .
  • Bangun relasi yang baik dengan rekan kerjamu dan orang-orang di perusahaan. Tunjukkan bahwa kamu adalah karyawan yang kooperatif, profesional, dan berkontribusi positif bagi tim dan organisasi.
  • Pahami aturan perusahaan mengenai pemecatan dan hak-hak karyawan. Jika kamu merasa diperlakukan tidak adil atau diskriminatif oleh atasanmu, kamu bisa mencari bantuan dari departemen sumber daya manusia (SDM) atau serikat pekerja.
  • Mediasi dengan pihak ketiga yang netral dan profesional. Jika komunikasi langsung dengan atasanmu tidak berhasil, kamu bisa mencoba mediasi dengan pihak ketiga yang netral dan profesional, seperti konsultan karier, psikolog, atau pengacara. Mereka bisa membantumu menyelesaikan masalahmu secara damai dan menghindari konflik lebih lanjut.
  • Pertimbangkan untuk mencari pekerjaan baru. Jika semua upaya di atas tidak membuahkan hasil, mungkin sudah saatnya kamu mencari pekerjaan baru yang lebih sesuai dengan minat, bakat, dan nilai-nilaimu. Kamu bisa memanfaatkan jaringan profesional, situs pencarian kerja, atau konsultan karier untuk mencari peluang kerja yang lebih baik .

Apakah Quiet Firing Legal?

Jawabannya tergantung pada situasi dan hukum yang berlaku di negara atau daerah tempat kamu bekerja. Secara umum, quiet firing tidak melanggar hukum jika perusahaan tidak melakukan diskriminasi atau pembalasan terhadap karyawan. Hal ini karena sebagian besar pekerjaan di dunia adalah “at will”, yang artinya perusahaan dapat memecat karyawan kapan saja dengan alasan apa saja atau tanpa alasan sama sekali. Namun, jika perusahaan melakukan quiet firing dengan cara yang melanggar hak-hak karyawan, seperti mengurangi gaji, menetapkan target yang tidak masuk akal, atau memaksa karyawan untuk pindah lokasi, maka quiet firing dapat dianggap sebagai “pemecatan konstruktif”, yaitu pada dasarnya memaksa karyawan untuk mengundurkan diri. Pemecatan konstruktif dapat menjadi alasan untuk menuntut perusahaan karena melanggar hukum ketenagakerjaan.

Kesimpulan

Quiet firing adalah strategi yang digunakan oleh beberapa perusahaan untuk mengurangi jumlah karyawan tanpa harus melakukan PHK secara langsung. Hal ini bisa merugikan karyawan secara finansial, emosional, dan profesional. Oleh karena itu, kamu perlu mengetahui apa itu quiet firing, bagaimana mengatasinya, dan apakah legal. Jangan biarkan quiet firing merusak karier dan kehidupanmu.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar

Pentingnya Budaya Egaliter dan Equal dalam Birokrasi

Birokrasi adalah sistem penyelenggaraan pemerintahan yang melibatkan para pejabat yang ditunjuk berdasarkan kualifikasi dan kewenangan yang resmi. Birokrasi memiliki peran penting dalam memberikan pelayanan publik, mengimplementasikan kebijakan, dan mengawasi tata kelola negara. Namun, birokrasi juga sering dihadapkan dengan berbagai permasalahan, seperti lambat, inefisien, korup, nepotis, dan kolusif.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja birokrasi adalah budaya birokrasi. Budaya birokrasi adalah nilai-nilai, norma-norma, sikap, dan perilaku yang dianut oleh para birokrat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Budaya birokrasi dapat berbeda-beda di setiap daerah, tergantung pada nilai-nilai budaya lokal, pengaruh politik, dan pemahaman prinsip-prinsip birokrasi modern.

Budaya birokrasi yang ideal adalah budaya egaliter dan equal. Budaya egaliter dan equal adalah budaya yang menghargai kesetaraan dan keadilan dalam hubungan antara para birokrat dan antara birokrat dan masyarakat. Budaya ini penting untuk mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas, efisien, dan responsif. Budaya egaliter dan equal juga dapat meningkatkan profesionalisme, akuntabilitas, dan transparansi birokrasi, serta mengurangi praktik-praktik korupsi, nepotisme, dan kolusi.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Budaya Birokrasi di Indonesia

Berdasarkan hasil pencarian web, beberapa faktor yang mempengaruhi budaya birokrasi di Indonesia adalah:

  • Nilai-nilai budaya lokal yang berbeda-beda di setiap daerah, seperti nilai siri’ di Sulawesi Selatan, nilai patron-klien di berbagai tempat, dan nilai feodalisme di masa lalu . Nilai-nilai ini dapat mengganggu prinsip impersonal, meritokrasi, dan transparansi dalam birokrasi .
  • Pengaruh politik yang kuat dari rezim yang berkuasa, seperti militerisasi birokrasi pada masa Orde Baru . Pengaruh ini dapat mengancam prinsip profesionalisme, akuntabilitas, dan responsivitas dalam birokrasi .
  • Kurangnya pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip birokrasi modern yang rasional, profesional, dan berorientasi pada tujuan organisasi . Kurangnya ini dapat menyebabkan birokrasi menjadi lambat, inefisien, dan korup dalam birokrasi .

Langkah-Langkah untuk Mengembangkan Budaya Egaliter dan Equal dalam Birokrasi

Untuk mengembangkan budaya egaliter dan equal dalam birokrasi, diperlukan beberapa langkah, antara lain:

  • Melakukan reformasi birokrasi yang menyeluruh dan berkelanjutan, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan . Reformasi birokrasi bertujuan untuk menciptakan birokrasi yang profesional, berintegritas, adaptif, bersih, melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.
  • Meningkatkan kapasitas dan kompetensi para birokrat, dengan memberikan pelatihan, pendidikan, insentif, dan supervisi yang memadai . Hal ini penting untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, sikap, dan perilaku birokrat yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan dan kebutuhan masyarakat .
  • Mendorong partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan birokrasi . Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan dan keterbukaan antara birokrat dan masyarakat, serta mencegah praktik-praktik negatif seperti korupsi, nepotisme, dan kolusi .
  • Membangun komunikasi yang efektif dan harmonis antara birokrat dan masyarakat, dengan menggunakan media sosial, website, hotline, dan sarana lainnya . Hal ini dapat mempermudah interaksi, koordinasi, dan kerjasama antara birokrat dan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik .
  • Menciptakan iklim organisasi yang kondusif untuk menerapkan budaya egaliter dan equal, dengan menghapus hambatan-hambatan struktural, kultural, sistemik, normatif, dan prosedural yang ada . Budaya egaliter dan equal adalah budaya yang menghargai kesetaraan dan keadilan dalam hubungan antara para birokrat dan antara birokrat dan masyarakat .

Contoh-Contoh Negara yang Berhasil Mengatasi Permasalahan Birokrasi dalam Sistem Birokrasinya

Berdasarkan hasil pencarian web, beberapa contoh negara yang berhasil mengatasi permasalahan birokrasi dalam sistem birokrasinya adalah:

  • Korea Selatan: Negara ini berhasil melakukan reformasi birokrasi dengan mengadopsi model manajemen publik yang berorientasi pada kinerja, kualitas, dan inovasi. Korea Selatan juga menerapkan sistem e-government yang mempermudah pelayanan publik, transparansi, dan akuntabilitas .
  • Singapura: Negara ini berhasil menciptakan birokrasi yang efisien, efektif, dan bersih dengan mengedepankan prinsip meritokrasi, profesionalisme, dan integritas. Singapura juga memberikan insentif dan sanksi yang tegas bagi para birokrat, serta mendorong partisipasi masyarakat dalam pengawasan birokrasi .
  • Selandia Baru: Negara ini berhasil melakukan reformasi birokrasi dengan mengubah paradigma birokrasi dari hierarkis menjadi jaringan. Selandia Baru juga memberikan otonomi dan tanggung jawab yang besar kepada para birokrat untuk mengelola sumber daya dan mencapai tujuan organisasi .

Demikian artikel tentang pentingnya budaya egaliter dan equal dalam birokrasi. Semoga artikel ini bermanfaat bagi Anda yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang topik ini. Jika Anda memiliki pertanyaan atau saran, silakan tinggalkan komentar di bawah. Terima kasih telah membaca.

Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Postingan Lama

Toko e-Book Terbaik

toko-buku "Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas." Mohammad Hatta

Translate Website

Tentang

Read before you think
-Frand Lebowitz

Kolom Iklan

Iklan/Penawaran Jaringan

Popular Posts

  • Website freelance yang pernah saya coba
    Tentu banyak yang mengiginkan pemasukan tambahan, khususnya Mahasiswa yang biasanya memiliki semangat ditambah tekat yang kuat untuk mempe...
  • Hoax dan Bahayanya Menurut Islam
     Oleh : DR Abdul Azhim Al Badawi Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar desas-desus yang tidak jelas asal-usulnya. Kadang ...
  • Eksistensi Money Oriented
    Saat tulisan ini dibuat jumlah utang luar negeri Indonesia sebesar 5.200 triliun lebih dan menurut data.worldbank.org jumlah populasi I...
  • Profil SMK Negeri 1 Rangas Mamuju
    Gambaran Umum Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Rangas Mamuju yang berdiri pada 29 Januari 1998, dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebuda...
  • Relawan Whatsapp dan Hoax
    Whatsapp menjadi salah satu media sosial dengan pengguna terbanyak akhir-akhir ini, itu dibuktikan dengan jumlah pengguna yang mengunduh ...
  • Cara Mengolah Coklat Menjadi Minuman Sehat untuk Anak
      Setiap orang tua khususnya ibu pasti akan berusaha untuk memberikan asupan makanan dan minuman yang terbaik dan sehat untuk anak-anak...
  • Hukum Shalat Sunnah Qobliyah Shubuh setelah shalat wajib
    Sebagai muslim tentu telah mengetahui bagaimana keutamaan shalat sunnah qobliyah Shubuh atau shalat sunnah Fajar . Dalam shahih Muslim ter...
  • gerakan evolusi
    Hingga 2019 ini ilmu pengetahuan telah meningkat pesat salah satunya dibuktikan dengan penggunaan alat 3D printing untuk membuat rum...
  • Tafsir Ayat-Ayat Ahkam - Syaikh Ahmad Muhammad Al-Hushari
    Syaikh Ahmad Muhammad Al-Hushari adalah penulis buku setebal 460 halaman ini. Belau dilahirkan di Gaza tepatnya Desa Syibran Namlah, pada ...
  • Minimnya Budaya Antri
    Menunggu di sebuah antrian memang membutuhkan kesabaran yang ekstra tapi dengan menunggu semua akan merasa adil karena sudah sesuai haknya...

Artikel Menarik

Berdasarkan Topik

  • Millennial (46)
  • AI (11)
  • Lingkungan (7)
  • PNS (7)
  • Internet (6)
  • Foto (2)
  • Garis Hitam Project (2)

Jaringan

Garis Hitam Project

Resensi Institute
Multi Tekno Mamuju

Formulir Kontak (inbox)

Nama

Email *

Pesan *

Laporkan Penyalahgunaan

Created : ThemeXpose | Modified : Achmad Nur |@2018