Di negara berkembang dengan ikatan tradisional yang masih kental, kualifikasi profesional seringkali dikesampingkan. Seseorang bisa mendapatkan pekerjaan atau jabatan bukan karena kemampuannya, melainkan karena kedekatannya dengan politisi, pemilik bisnis, atau manajer. Praktik ini, yang dikenal luas sebagai favoritisme, bukanlah fenomena baru. Jejaknya bahkan bisa kita telusuri hingga ke salah satu kekaisaran terbesar dalam sejarah: Kekaisaran Ottoman.
Sebuah studi yang dipresentasikan dalam International Symposium on Sustainable Development (2009) mengupas secara mendalam bagaimana praktik favoritisme, khususnya nepotisme (favoritisme berbasis kekerabatan), terjadi dalam struktur pemerintahan Ottoman. Memahami sejarah ini menjadi relevan karena, dulu maupun sekarang, nepotisme masih menjadi cara ampuh untuk mengendalikan proses manajemen dalam berbagai organisasi.
Memahami Konsep Favoritisme dan Nepotisme
Secara sederhana, favoritisme adalah perlakuan istimewa yang diberikan kepada seseorang. Dalam konteks birokrasi, ini bisa berarti seorang pejabat publik membela kerabatnya yang melanggar hukum. Literatur membedakan beberapa jenis favoritisme:
- Nepotism: Favoritisme yang didasarkan pada hubungan keluarga atau kerabat. 
- Cronyism: Favoritisme yang didasarkan pada hubungan pertemanan atau kenalan. 
- Patronage: Favoritisme yang didasarkan pada afiliasi politik. 
Di sektor publik, alasan di balik favoritisme tidak melulu soal uang. Loyalitas dan rasa tanggung jawab terhadap "orang dalam" seringkali menjadi pendorong utama. Ikatan kekerabatan digunakan sebagai alat untuk memengaruhi pejabat, menggantikan imbalan ekonomi seperti barang atau uang.
Awal Mula Nepotisme: Dari Naluri Hingga Struktur Sosial
Secara biologis, memilih kerabat (kin selection) adalah naluri alami manusia, bahkan hewan sekalipun. Dari sudut pandang ini, nepotisme bisa dianggap sebagai perilaku yang rasional. Namun, dalam konteks sosial dan organisasi modern, praktik ini menjadi masalah.
Struktur keluarga dan masyarakat memainkan peran besar. Dalam masyarakat kolektif, di mana kepentingan keluarga dan solidaritas kelompok lebih diutamakan daripada nilai-nilai etika universal, nepotisme tumbuh subur. Ketika loyalitas pada kelompok melebihi rasionalitas ekonomi, maka proses rekrutmen yang sederhana pun akan diwarnai oleh praktik favoritisme.
Nepotisme di Kekaisaran Ottoman: Dari Pengecualian Menjadi Aturan
Hingga abad ke-16, Kekaisaran Ottoman relatif bersih dari praktik favoritisme. Prinsip-prinsip keadilan dan kejujuran yang ditanamkan oleh para pendiri seperti Osman Gazi dan Syekh Edebali menjadi benteng yang kokoh. Namun, memasuki akhir abad ke-16, seiring dengan melemahnya otoritas pemerintah dan munculnya masalah finansial, korupsi, suap, dan nepotisme mulai menyebar luas.
Sistem medresseh (pendidikan) yang sebelumnya sangat menjunjung tinggi kualifikasi akademis mulai terintervensi oleh politik dan favoritisme. Jabatan-jabatan penting tidak lagi diisi berdasarkan kompetensi, melainkan kedekatan.
Salah satu contoh paling ikonik adalah praktik "cradle of ulema" (Buaian Ulama). Jika seorang ulama (cendekiawan) memiliki anak laki-laki, anak tersebut secara otomatis akan mendapatkan gaji setara dengan ayahnya sejak lahir, dengan asumsi ia akan tumbuh menjadi cendekiawan juga. Praktik ini menjadi simbol bagaimana nepotisme telah merusak sistem meritokrasi di Ottoman.
Contoh lain adalah pengangkatan menantu-menantu Sultan (damat) ke posisi-posisi strategis. Meskipun beberapa di antaranya memang memiliki kapabilitas, seperti Ibrahim Pasha, banyak juga yang diangkat murni karena hubungan keluarga, bukan karena kualifikasi.
Upaya Pemberantasan: Sistem Devşirme dan Reformasi
Kekaisaran Ottoman sebenarnya menyadari bahaya favoritisme. Salah satu upaya paling signifikan untuk mencegahnya adalah sistem devşirme. Dalam sistem ini, anak-anak non-Muslim dari wilayah Balkan direkrut, dididik di istana, dan diangkat menjadi pejabat tinggi atau prajurit Janissari. Karena mereka tidak memiliki kerabat di dalam struktur kekuasaan, diharapkan mereka bisa bekerja secara profesional tanpa bias favoritisme. Banyak tokoh besar seperti Sokullu Mehmet Pasha dan arsitek legendaris Mimar Sinan adalah produk dari sistem ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, sistem ini pun mengalami kemunduran. Reformasi-reformasi lain, seperti yang diupayakan oleh Sultan Selim III pada abad ke-18, mencoba untuk mengembalikan meritokrasi dan memberantas suap, namun seringkali gagal karena tidak mendapat dukungan penuh dari para pejabatnya.
Pelajaran dari Sejarah
Kisah pasang surut nepotisme di Kekaisaran Ottoman memberikan pelajaran berharga. Ia menunjukkan bahwa sistem yang paling kokoh sekalipun bisa runtuh ketika prinsip-prinsip keadilan dan meritokrasi mulai terkikis oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Sejarah ini mengingatkan kita bahwa perjuangan melawan favoritisme adalah perjuangan berkelanjutan untuk menjaga integritas dan kesehatan sebuah organisasi, entah itu sebuah kekaisaran besar maupun institusi modern.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 



0 komentar